Ayat : Lukas 15:11-32
Perumpamaan ini merupakan rangkaian dengan dua kisah sebelumnya. Masa itu, orang Farisi dan ahli Taurat heran melihat keberadaan orang-orang berdosa di sekitar Yesus, yang ikut mendengarkan pengajaran-Nya (15:1-2). Maka Yesus menyampaikan kisah ini.
Ada kontras antara sikap si bapak dan si anak sulung dalam menyambut kembalinya si anak bungsu. Sang bapak begitu antusias. Gambaran bahwa si bapak telah mengenali si bungsu walau masih jauh (20), seolah memperlihatkan bahwa si bapak selalu menanti-nantikan si bungsu. Ia sering menengok ke jalan, karena berharap si bungsu suatu saat ingat pulang. Tak heran, ketika si bungsu pulang, ia berlari, lalu memeluk dan mencium anaknya itu (20). Penantiannya terjawab. Ia tidak peduli si bungsu datang compang-camping dan bukan dalam gemerlap kesuksesan di perantauan. Si bapak tidak menolak si bungsu, meski datang dalam keadaan miskin dan memalukan.
Justru sikap si bapak yang aktif menyambut, mendorong respons pertobatan si bungsu (21). Bapak pun menerima dan memulihkan (22-24). Namun bagaimana sikap si sulung menyambut kepulangan adiknya? Ia marah karena ayahnya berpesta atas kepulangan orang yang sulit dia sebut sebagai adik.
Biasanya kita melihat diri sebagai si bungsu yang cari kesenangan, lalu jatuh ke jurang sengsara. Namun pernahkah menyorot diri kita sebagai anak sulung, yang merasa selalu taat dan benar? Itulah masalah orang Farisi, yang disorot Yesus. Mereka memandang orang lain berdosa, dan ukuran kekudusan adalah tidak berteman dengan pendosa. Padahal Yesus sering berada bersama orang berdosa.
Konsep semacam itu dapat membuat kita tidak menjangkau yang terhilang. Kita akan dijauhi oleh mereka karena kita sendiri telah menjauhi mereka. Jika kita memahami anugerah Allah, kita akan menyambut yang terhilang seperti Allah menyambut mereka. Kita juga sebelumnya berdosa, hanya kemudian kita menerima kasih karunia Allah. Maka marilah kita memiliki pikiran Kristus yang menerima setiap pendosa, seperti Dia juga telah menerima kita.
God Bless ^^