ShareThis

22 May 2013

KEBUTUHAN vs PEMENUHAN EGO

Seorang berkata bahwa dengan hanya membeli mobil colt, seorang dapat membawa keluarganya atau barang belanjaannya untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi dengan membeli Ferrari, seorang bukan lagi memenuhi kebutuhannya, tetapi cenderung mendisplay kekayaannya dan memuaskan hasrat kesenangannya.

Kita akan belajar bahwa hal ini sangat erat hubungannya dengan krisis identitas seseorang; jika ego seseorang harus dipenuhi (yang seringkali tidak disadari bahwa ada suatu kehendak lain yang lebih daripada dirinya), maka ia akan mengusahakan sesuatu yang di luar kebutuhannya, bahkan sampai di luar kemampuannya dengan berhutang sana-sini.Yang tidak disadarinya adalah bahwa ia sedang memimpin kehidupan lain di luar dirinya, dan justru pemenuhan kebutuhan hakiki dirinya malah diabaikan.

Contoh: Seorang anak kecil waktu ayahnya datang di gelanggang basket tiba-tiba bermain dengan lebih semangat daripada sebelumnya, karena ia ingin dipuji ayahnya, atau takut tidak dipuji, atau takut mengecewakan. Demikian juga jika pacarnya datang dan duduk di sana, ini menambah daya semangatnya, ia akan mengusahakan bermain dengan sekuat tenaga, entah kaki lecet entah tangan sudah pegal, ia harus lebih dari yang lainnya.

Contoh lain, seorang isteri yang berdandan bagi suaminya biasanya hanya sekedar berdandan. Tetapi tiba-tiba ia berdandan lebih dari sebelumnya, karena dokter langganannya memujinya dan hatinya bergejolak lalu ia ingin tampil lebih mempesona untuk si dokter itu. Bisa sadar bisa tidak, tapi kebanyakan hal-hal seperti ini dilakukan tanpa berpikir panjang.

Jika seseorang suka menyembah Tuhan, ia dengan khusuk akan menyembah dalam roh dan kebenaran; tetapi sebaliknya orang yang mau memuaskan egonya akan menyanyi dengan suara lantang atau suara yang dibuat-buat agar orang bisa memuji suaranya. Perlakuan seperti ini kebanyakan tidak disadari oleh si pembuat/pelaku, karena ia sudah terbiasa melakukannya sehingga seolah sudah menyatu menjadi dirinya.

Seorang pekerja yang hanya bekerja karena dorongan mendapatkan uang lembur, atau berdasar komisi. Ini akan merugikan mentalitasnya, karena dorongan semangatnya hanya disetir oleh upah, sedang jika ia harus berjuang untuk dirinya sendiri, kemajuan dirinya, dan tidak ada seorang pun yang memberinya upah, maka ia tidak akan terlalu mendorong diri.

Hal-hal seperti ini berarah ke dampak yang negatif, sebab jika semangat itu hanya berlangsung jika ada sesuatu yang men-drive dia, maka celakalah orang tersebut karena ia tidak punya dorongan dari diri sendiri dan hanya dari luar saja. Ia tidak punya fighting spirit untuk mensupport dirinya, dan yang dibutuhkannya hanyalah orang dari luar untuk membuatnya lebih baik. Dan tidak selamanya orang di luar sana akan menolongnya memperlakukan dia dengan cara demikian, karena kebanyakan mereka di sana tidak sengaja.

Manusia harus berpikir bahwa hidup ini bukanlah pemenuhan ego, kita harus berbuat semaksimal mungkin untuk menambah poin diri untuk suatu tujuan, bukan agar dilihat orang, agar dipuji, tetapi ia sendiri sesungguhnya tidak memiliki apa pun yang bisa dibanggakan di ‘dalam sana’.

Berapa banyak orang hutang sana-sini untuk mendandani etalase diri, rumah, keluarga, beberapa kendaraan, tetapi tiap bulannya dipenuhi ketakutan akan datangnya tagihan-tagihan. Banyak bos-bos yang tiap harinya kewalahan dan ketakutan karena dikejar debt collector dan dikejar tagihan bank dan sebagainya, sementara kelihatannya dia sedang mendirikanempire megah, tapi dalamnya (manusia rohnya) keropos, hanya untuk memenuhi egonya. Sesungguhnya ini suatu kehidupan yang melarat, karena ia hanya dipicu oleh kenampakan luar saja, dan bukan pemenuhan batin untuk suatu kepuasan tujuan. Ini suatu kesalahan besar yang jika tidak disadari akan berentet ke poin sisi kehidupan lainnya sehingga moralnya sangatlah hancur lebam.

Ia bisa berbohong hanya untuk kepuasan egonya, ia akan berbohong agar nampak baik, nampak pandai, nampak apik di luaran, nampak kaya, nampak sopan, nampak bermoral, nampak suci, tetapi dalamnya zero.

Andai seorang dapat puas dengan apa yang ia miliki dan berlari mengejar ketertinggalan dengan apa yang ia miliki tanpa harus berkompetisi dengan orang lain, maka ia akan menjadi orang yang whole (penuh, sehat) secara jiwani dulu. Jika ia hanya berpusat kepada Tuhannya dan tidak peduli dengan pandangan manusia (bukan berarti tidak mengejar, nrimo keadaan, pasif) – maka ia adalah orang yang ber’arti’ dan puas. Dan percayalah, memimpin kehidupan yang demikian berujung pada bonus terhadap hal-hal yang tadinya hanya dipikirkan oleh orang-orang yang mengingini pemenuhan ego itu tadi; ia justru akan mendapatkan pujian, mendapat bonus-bonus, kemurahan dan kemudahan-kemudahan, favor, mendapatkan pencapaian yang baik. Tetapi kesudahannya adalah tanpa embel-embel pemenuhan ego, sebab ia tidak mengingini itu, tetapi bertujuan untuk mencapai tujuan dari panggilan hidupnya saja.

Saya kasihan jika melihat seorang harus mengejar sesuatu hanya untuk ego, berdandan dan membenahi diri hanya untuk dipuji orang, membangun sesuatu hanya agar dipercaya bahwa ia dapat meraih sesuatu… ini semuanya kosong, jiwa yang hampa. Setelah pencapaian itu apa? Pasti ada yang harus ia pamerkan lagi! Kualitas yang tidak tahan uji! Pada saat ada kesalahan yang dibuatnya dan orang mulai mengecamnya, ia akan terpuruk, karena hidupnya hanyalah untuk mendapatkan pujian – pemenuhan ego.

Sebaliknya seorang yang tidak peduli dengan pujian dan tuntutan orang lain, ia juga akan tahan dalam cemoohan, ia akan tenang saat tidak seorang pun memujinya, karena ia tahu ia mengerjakan hal itu bukan untuk mendapatkan pujian, bukan untuk dilihat orang, tetapi untuk suatu tujuan yang tidak dapat dilihat orang lain (untuk sementara). Ia tidak pusing dengan tudingan, tidak pusing dengan fitnahan, tidak sakit dengan pengkhianatan atau kompetisi dan pembunuhan nama.



Apakah Anda memimpin beberapa sisi kehidupan untuk pemenuhan ego? Apa itu? Apakah dalam hal:
1. membeli rumah mewah,
2. mobil,
3. hutang sana-sini untuk pengeluaran yang bukan dalam koridor “kebutuhan”,
4. mengingini titel untuk suatu gengsi,
5. berbicara muluk-muluk agar kelihatan pandai,
6. melucu keterlaluan (buat-buat cerita supaya kedengaran lucu) supaya disenangi,
7. berlagak (pintar) dalam mengajar,
8. berbicara/pidato/khotbah,
9. dalam hal menyetir, menyanyi, main musik, mentraktir, olah raga, dll.


Bagaimana jika Anda mencoba untuk memenuhi tujuan yang sesungguhnya dan bukan hanya melampiaskan ego dan menyenangkan orang lain yang nilainya hanya sesaat dan dasarnya tidak akan tahan? Cobalah, berdoalah, penuhilah kebutuhan yang hakiki sekalipun harus menimba cemooh, perendahan, tudingan, kesalahpahaman. Puaskanlah dirimu dengan pencapaian dirimu yang dari dalam dan bukan emosi belaka atau tuntutan manusia. Be content dengan apa yang hanya tertulis dalam Buku Kehidupan, dan bukan history dunia.


Popular Posts

 
Hope and Love Jesus Christ | HLJCC